Home »
» BUDDHA MAITREYA
BUDDHA MAITREYA
~ Bodhisattva Maitreya akan menjadi Samyaksambuddha setelah usia rata-rata manusia mencapai 80.000 (84.000) tahun ~
Nama Maitreya mengandung arti cinta kasih. Konon nama beliau disebut Ajita yang artinya ‘tidak ada yang dapat mengungguli’, sedangkan Maitreya adalah nama marga. Bagaimana kisah munculnya nama ini dan asal usul Maitreya membangkitkan ikrar bodhicitta?
Kejadiannya bermula ketika Buddha Sakyamuni sedang berkunjung ke sebuah kerajaan. Saat itu Maitreya juga berada di sana sebagai seorang putra brahmana yang mendatangi Buddha untuk memberi penghormatan. Sekelompok brahmacari (pertapa) melihat sosok Maitreya memiliki 32 tanda fi sik unggul dengan tubuh memancarkan cahaya gemilang. Merasa sangat aneh dan takjub melihat hal ini, mereka lalu bertanya pada Buddha, di hadapan Buddha manakah Maitreya pernah membangkitkan bodhicitta untuk pertama kalinya hingga memiliki tubuh cahaya yang sedemikian cemerlang yang hampir tidak berbeda dengan tubuh Bhagava? Pada kesempatan itulah Buddha menceritakan sebuah kisah kilas balik pada masa kalpa tak terhingga yang telah lampau. Saat itu terdapat seorang Buddha bernama Buddha Maitreya. Seorang brahmana bernama Sarvanyanaprabhasa mengajak Buddha Maitreya beradu debat. Karena tidak mampu mengungguli Buddha Maitreya, Brahmana akhirnya menyerah kalah dan memohon menjadi siswa Buddha Maitreya. Pada kesempatan itulah Brahmana Sarvanyanaprabhasa membangkitkan Abhinihara, yakni tekad mencapai Pencerahan Sempurna yang sama seperti Buddha Maitreya, juga berharap memiliki nama yang sama pula yakni Maitreya. Siapakah Brahmana Sarvanyanaprabhasa?
Tidak lain adalah Bodhisattva Ajita Maitreya.
Buddha telah meramalkan kedatangan seorang “Maitreya” dan nubuatan itu begitu tenar
Dalam Chakkavatti Sinhnad Suttanta (D III:76):
“Akan muncul di dunia seorang Buddha bernama Maitreya (seorang yang pemurah dan pengasih). Seorang yang suci, seorang yang utama, seorang yang tercerahkan, diberkahi dengan kebijaksanaan dalam tingkah-lakunya, beruntung,
mengenal alam semesta; manusia pengendara yang tak tertandingi dari orang-orang yang dijinakkan hatinya, tuan dari para malaikat dan manusia, Buddha yang diberkahi bahkan seperti saya yang sekarang dibangkitkan di dunia, seorang Buddha yang dianugerahi dengan kualitas yang sama seperti ini. Apa yang disadarinya berkat ilmu supernaturalnya sendiri, akan disiarkannya ke alam semesta ini, dengan para malaikatnya, sahabatnya, dan kepala malaikat serta ras ahli filsafat dan Brahmin, pangeran dan awam, bahkan seperti saya sekarang, setelah mengenal semua pengetahuan ini, menerbitkan yang sama bagi sesama. Dia akan mengajarkan agamanya, terpuji asal-usulnya, terpuji pada puncaknya, terpuji pada tujuannya, dalam semangat maupun tulisan. Dia akan memproklamirkan kehidupan keagamaan, sempurna seluruhnya, dan murni sepenuhnya; bahkan seperti saya yang kini mengajarkan agamaku dan kehidupan serupa yang saya umumkan. Dia akan memimpin masyarakat pendeta berjumlah ribuan, bahkan saya kini hanya memimpin masyarakat pendeta sejumlah ratusan”.
“Ada cukup alasan untuk perbandingan antara Metteyya dengan ide barat tentang Almasih. Ide itu tentunya, tidak persis sama, tetapi ada beberapa hal yang sama. Zaman Metteyya digambarkan sebagai Abad Emas dimana raja, menteri dan rakyat akan bersaing satu sama lain dalam menjaga tatanan ketulusan dan kemenangan dari kebenaran”
Nama Maitreya berarti "cinta kasih," Nama pribadi dari Buddha yang akan datang, diberikan dalam sajak, dan di tempat lain, sebagai Ajita, Yang takterkalahkan! Inti-sari yang dirujuk adalah satu baris dalam dialog ke 26 dari Digha yang mencatat suatu nubuatan, yang diucapkan melalui mulut Buddha bahwa Metteyya akan mempunyai ribuan pengikut sedangkan Buddha sendiri hanya ratusan .
Ada suatu alasan untuk percaya bahwa Maitreya (Buddha masa depan) misalnya, yang kedudukan ajarannya ditegakkan dengan lebih baik, haruslah aslinya mengambil dari pendahulunya. Dan ada tulisan yang patut dicatat serta otentik, semacam seperti Sanskrit-Tibetan Lexicon (Mahavyutpatti) dan catatan Tiongkok yang mendorong kita untuk percaya bahwa Maitreya ini bisa mempertahankan posisinya. Dalam satu hal, hendaknya diperhatikan akan peran “Bodhisattva yang Baik”, penolong dan Ilahiyah, yang sangat terhormat (paramarya) pemberi keamanan (abhayamdada) dan sebagainya.
“Di antara nubuatan yang diucapkan oleh Buddha adalah satu yang berkenaan dengan masa depan agama yang dia tegakkan dan puncak kemerosotannya serta lenyapnya dari muka bumi. Deklarasi ini terdapat dalam Anagatvansha (Kisah dari Peristiwa mendatang) dan diberikan di Kapilavastu dalam tanggapannya terhadap satu pertanyaan oleh Sariputta.
Sejarah dari Buddha Maitreya di masa depan (Pali Metteyya) digambarkan, lalu sesudah jeda yang panjang sepeninggalnya terjadilah lima pelenyapan pencapaian, ketika para muridnya akan bangkit bahkan lebih tinggi derajatnya dalam kesucian dari metode dimana pengetahuan tentang rumus dan jalan keselamatan akan hilang, dari pelajaran, ketika teks suci itu sendiri akan dilupakan, dari simbol, jubah kependetaan, mangkuk, dan sebagainya. Kemudian mereka akan menangis, berkata: Sejak sekarang dan selanjutnya kita akan dalam kegelapan”. “Om manipadme”, (Yah, 10 mutiara dalam teratai, Amien) yang kini adalah doa .
Dalam gambar Tibet modern Maitreya digambarkan di singgasana teratai , “Maitreya, nama dari Bodhisatva yang adalah Buddha selanjutnya di masa depan. Teori tentang Buddha yang hadir berkali-kali mungkin tidak primitif, tetapi ini jelas, timbul sebelum kedekatan dengan kanun Pali, sebagaimana Metteyya disebut dua kali dalam Digha Nikaya, no.26, dan kepercayaan ini menjadi mapan di semua aliran .
“Maitreya nama dari Buddha masa depan, dalam satu dari karyanya termasuk dalam kanun Pali Digha Nikaya …..patung-patung Maitreya terdapat dalam kuil-kuil Buddha, dari semua sekte, pada saat ini, dan kepercayaan terhadap kedatangannya di masa depan adalah merata di kalangan umat Buddhis”.
“Maitreya, Buddha kemudian hari, beberapa menyebutnya Buddha Almasih”…
“Suatu kuil Lama di Peking berisi satu ukiran kayu dari orang suci setinggi 70 kaki. Di Urga Mongolia, sebuah ukiran emas setinggi 33 kaki, dalam rumah-rumah dan toko-toko , Patungnya mewakili rahmat”
“Maitreya akan datang untuk menegakkan kebenaran yang hilang dengan segenap kesuciannya”.
Kaum Buddhis sungguh-sungguh tertarik akan kebenaran Dia yang Dijanjikan, dan sebabnya mengapa mereka sanggup menjalani cobaan dan kesulitan hidup dalam pengembaraannya ke negeri-negeri yang sangat jauh, ribuan mil dari rumah, lebih lanjut dikomentari oleh Sir Charles Elliot sebagai berikut:
“Peziarah Cina menyebut patung-patung dan situs yang berkaitan dengan Maitreya tetapi rupanya, juga, penuh dengan suatu pengabdian pribadi kepadanya dan menganggap dia berwenang melindungi keimanannya di saat menunggu penampakannya di bumi”.
Dan lagi dalam “Hinduism and Buddhism” dia menulis: Setelah Avlochit dan Manjusri menurut akidah Buddha Maitreya adalah pribadi yang penting, bahkan disebut “Ajeeta” yang berarti mustahil ditaklukkan. Menurut kitab suci Pali Dia adalah satu-sanya yang Dijanjikan. Dia tidak satu peringkat dengan para Buddha yang lain, tetapi akan di atas semuanya. Mengenai sifatnya, semua Buddha adalah yang terpilih dari ras manusia. Namun, Maitreya adalah seorang yang diberi status istimewa karena kecintaannya kepada umat manusia. Dia yang Dijanjikan dianggap sedang berbaring untuk menunggu turunnya dari ketinggian. Mengenai warnanya, wajahnya adalah keemasan.
Beberapa peramal Buddhis Cina berpendapat bahwa Dia yang Dijanjikan, yang dirujuk oleh patung yang mengagumkan itu, akan muncul 3,000 tahun setelah Buddha wafat, dan bahwa dia adalah benar-benar satu penjelmaannya yang asli .
Pengukuhan Menjadi Samyaksambuddha
Ada beberapa Sutra yang menceritakan mengenai pengukuhan Buddha tentang Bodhisattva Maitreya menjadi bakal Buddha berikutnya. Salah satu kisah yang ditafsirkan sebagai awal pengenalan ini terdapat pada kitab Madhyamagama – bagian Shuo Ben Jing.
Hal ini dikisahkan ketika Buddha mengunjungi wilayah Benares di Taman Rusa Isipatana. Saat itu, YA Aniruddha bersama para bhiksu lainnya sedang berbincang Dharma. Karena itu, Buddha menghampiri para bhiksu dan bertanya, “Oh para bhiksu, apa yang sedang kalian perbincangkan di aula pertemuan ini?” Para bhiksu menjawab, “Bhagava, kami sedang berbincang Dharma bersama YA Aniruddha mengenai hal-hal masa lalu, karena itulah kami berkumpul di aula pertemuan ini.” Buddha lalu berkata, “Apakah kalian ingin mendengar wejangan Dharma yang menyangkut hal-hal masa akan datang?” Para bhiksu dengan gembira menyahut, “Bhagava, inilah saat yang tepat, Oh Sugata, inilah saat yang tepat.” Buddha lalu berkata, “Oh para bhiksu, dengarkan dan renungkanlah baik-baik, Aku akan menjabarkannya. Oh para bhiksu, jauh di masa yang akan datang, usia kehidupan manusia akan mencapai 80.000 tahun. Saat itu, wilayah Jambudwipa ini sangat makmur. Rakyatnya hidup harmonis, begitu juga dengan kotakota dan desanya saling berdekatan hingga seekor ayam pun sanggup terbang ke kota tetangganya.
Wanita di kehidupan saat itu menikah ketika berusia 500 tahun. Jenis penyakit yang muncul pun hanya sebatas sakit panas, dingin, buang air besar dan kecil, nafsu keinginan, makan dan minum, usia tua.
~ Bodhisattva Maitreya akan menjadi Samyaksambuddha setelah usia rata-rata manusia mencapai 80.000 (84.000) tahun ~
Pada saat itu juga, hidup seorang raja Cakravartin (penguasa dunia) bernama Luo. Raja Cakravartin memerintah dengan bijaksana. Kondisi dunia pada saat itu penuh dengan kedamaian.”
“Oh para bhiksu, jauh di masa yang akan datang, ketika usia kehidupan manusia mencapai 80.000 tahun, akan muncul seorang Buddha dengan nama Buddha Maitreya, Tathagata, Arhat, Samyaksambuddha, Sugata, yang memahami segenap alam, guru para dewa dan manusia, penjinak nafsu, Bhagava yang maha mulia. Setelah Buddha mengucapkan pengukuhan ini, salah seorang bhiksu bangkit dari tempat duduknya. Beliaulah Bodhisattva Maitreya yang dikukuhkan oleh Buddha. Bhiksu Maitreya bersujud dan beranjali di hadapan Buddha sambil berkata bahwa beliau akan mencapai tingkat Samyaksambuddha pada masa mendatang. Buddha kemudian mengukuhkan pernyataan Bhiksu Maitreya, “Bagus, bagus, oh Maitreya. Engkau membangkitkan batin yang sangat menakjubkan dengan berkata akan membimbing para makhluk hidup. Seperti yang telah engkau pikirkan dan ucapkan di hadapanKu.” Kemudian sekali lagi Buddha menyatakan kembali kepada Maitreya, “Oh Maitreya, ketika usia kehidupan manusia 80.000 tahun, Engkau akan mencapai Kebuddhaan, dengan nama Buddha Maitreya, Tathagata, Arhat, Samyaksambuddha, Sugata, yang memahami segenap alam, guru para dewa dan manusia, penjinak nafsu, Bhagava yang maha mulia. Dikelilingi oleh para makhluk, sama seperti Aku sekarang sebagai Tathagata, Arhat, Samyaksambuddha, Sugata, yang memahami segenap alam, guru para dewa dan manusia, penjinak nafsu, Bhagava yang maha mulia, dikelilingi oleh para makhluk.”nBuddha kemudian meminta Ananda mengambilkan jubah emasNya
[1] untuk diberikan kepada Bhiksu Maitreya dan meminta Maitreya mendanakan jubah tersebut kepada Triratna secara simbolis. Demikian ramalan ini diberikan kepada bhiksu Maitreya. Pengukuhan tentang sosok Maitreya tampak cukup menarik perhatian para siswa Buddha. Ketika berada di Taman Anathapindika, YA Ananda juga menanyakannya, begitu juga YA Sariputra memohon kepada Buddha saat berada di puncak Gunung Grdhakuta.
Pada kesempatan lain, YA Upali juga menanyakan hal seputar Maitreya ketika berada di Taman Anathapindika. Bodhisattva Maitreya juga hadir di pesamuan ini. Pada saat itu Buddha memancarkan cahaya gemilang yang memunculkan visual para Buddha, yang mana visual para Buddha ini kemudian menguncarkan berbagai dharani agung. Setelah Bodhisattva Maitreya mendengar dharani ini, seketika juga menguasai metode tersebut. Akan tetapi, karena YA Upali tidak memahami tingkatan batin Maitreya, maka beliau pun bertanya kepada Buddha, “Oh Lokanatha, Lokanatha pernah berkotbah tentang Ajita (Maitreya) akan menjadi Buddha pada masa yang akan datang. Seperti diketahui bahwa Ajita masih beridentitas sebagai manusia biasa yang masih belum mengikis tuntas noda-noda batin, lantas di alam manakah dia akan dilahirkan setelah kehidupan ini? Meskipun telah menjalani kehidupan monastik, dia tidak juga mempraktikkan samadhi dan tidak mengikis noda batin, namun Bhagava secara pasti mengukuhkannya akan mencapai Kebuddhaan. Setelah akhir hidupnya, ke manakah dia akan dilahirkan?” Buddha lalu berkata kepada Upali, “Dengarkan dan renungkanlah baik-baik, sekarang di hadapan pesamuan ini, Tathagata, Yang memiliki pengetahuan sempurna, akan mewejangkan Pengukuhan tentang Bodhisattva Maitreya Mencapai Anuttara Samyaksambuddha. Terhitung dua belas tahun dari sekarang, usia kehidupannya akan berakhir dan dipastikan terlahir di Surga Tusita.” Pada kesempatan itu pula Buddha mewejangkan praktik yang perlu dijalani bagi mereka yang hendak terlahir di Surga Tusita mengikuti Bodhisattva. “Bagi bhiksu atau semua orang yang tidak merasa jijik terhadap kehidupan samsara, sementara sangat senang dapat terlahir di alam surga, dan merasa senang dengan pikiran Pencerahan Sempurna, ataupun berkehendak menjadi siswa Maitreya, maka lakukanlah jenis praktik vipasyana, yang mana praktik ini hendaknya dijalani dengan menaati Lima Sila, Delapan Sila maupun Sila Penuh. Dengan batin dan jasmani yang bersih lalu tanpa mencari Jalan Pemutusan
[2], mempraktikkan Sepuluh Perbuatan Baik, lalu secara seksama merenungkan kebahagiaan menakjubkan dari alam Surga Tusita. (Dengan motivasi ini) maka mempraktikkan vipasyana seperti ini disebut vipasyana yang benar, selain dari praktik ini maka disebut vipasyana tidak benar
[3].” Mendengar tentang kegemilangan surga Tusita dan kejadian-kejadian luar biasa dari Bodhisattva Maitreya membuat YA Upali merasa semakin tertarik hingga beliau menanyakan lebih detil lagi tentang kapan waktunya Bodhisattva akan dilahirkan di Tusita. “Oh Bhagava, Surga Tusita ternyata memiliki peristiwa sukacita yang demikian menakjubkan, jadi kapan tepatnya Mahasattva meninggalkan Jambudvipa ini untuk terlahir di Surga tersebut ?” “Oh Upali, Maitreyag-belatung akan mati terbunuh. Dengan
sebilah pedang, ia memotong dagingnya sendiri
Kemudian ia memejamkan mata, menunduk dan berusaha mengeluarkan belatung-belatung itu dengan lidahnya, namun tidak dapat mencapainya. Saat membuka mata, Arya Maitreya nampak berdiri di hadapannya dengan mahapurusha-lakshana yang agung. Takjub, Asanga berkata sambil bercucuran air mata: “Oh Ayahku! Pelindungku! Selama bertahuntahun aku melakukan beratus-ratus usaha namun tidak membawa hasil. Ketika aku haus dan didera penderitaan, mengapa engkau tidak menurunkan hujan amrita dari samudra awan kemuliaanmu? Mengapa engkau hanya menunjukkan belas kasih yang kecil kepada kami?”
Arya Maitreya menjawab, “Sebagaimana ungkapan, meskipun raja dari para dewa menurunkan hujan, biji yang mati tak akan bertunas. Demikian pula meskipun para Buddha muncul, Ia tak terlihat oleh mereka yang kurang kebajikannya. Aku telah berada bersamamu sejak awal, Aku tidak pernah terpisah denganmu, tapi karena terhalang oleh karmamu, engkau tak dapat melihatKu. Sebaliknya, setelah noda dan rintanganmu dimurnikan oleh pelatihan mantramu yang banyak dan oleh welas asihmu sehingga berani memotong dagingmu sendiri, kini dirimu dapat melihatKu.” Arya Maitreya kemudian berkata, “Tetapi untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini bagimu, gendonglah dan bawa Aku ke kota!”
Asanga membawa Bodhisattva ke kota, namun tidak ada satu orang pun yang melihat Arya Maitreya, kecuali seorang wanita tua melihat Asanga menggendong bangkai anjing [4]. Karena penglihatannya itu, ia mendapatkan keberuntungan yang tiada akhir. Seorang tukang tembikar melihat kaki Arya Maitreya, segera ia berada dalam keadaan samadhi dan mencapai banyak siddhi. Pada saat itu Asanga juga mencapai samadhi “kesadaran akan keberadaan.”
“Apa keinginanmu sekarang?” tanya Maitreya Bodhisattva. “Memulihkan ajaran Mahayana,” jawab Asanga. “Baiklah pegang ujung jubahku.” AryaAsanga mengikuti nasehat tersebut dan pergi ke Surga Tusita, berada di sana selama 50 tahun manusia mendengarkan Dharmadesana dari Arya Maitreya dan sangat paham baik makna maupun kalimat demi kalimat. Ia mendengarkan “Lima Dharma Maitreya” yang dibukukan di Dharmankura Vihara di Veluvana. Kelima teks tersebut adalah Abhisamayalamkara, Mahayanasutralamkara, Dharmadharmatavibhanga, Madhyantavibhanga, dan Uttaratantra Shastra [Ratnagotravibhanga].
MAITREYA DI PULAU JAWA
Patung-patung di Jawa terkenal karena tingginya. Selanjutnya, mereka itu yang paling indah dan menarik. Ini terutama di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Yang terkenal diantara ini adalah tiang di kiri-kanan yang merupakan galeri dari setiap patung. Diriwayatkan bahwa ini dibangun pada tahun 850 M. Dalam bentuknya tidak ada sentuhan dari arsitektur Hindu. Ini benar-benar seni Buddhis.
Pada galeri ke tiga, terlihat patung Maitreya, yang agaknya sedang mengajar para sahabatnya. Peziarah dan pengabdi mengelilinginya dan memberikan ungkapan cinta dan pengabdian. Di samping ini, di mana terdapat lima patung Buddha yang menarik, ada satu Maitreya, yang dibuat mengatasi yang lain. Adalah suatu kebetulan yang mengagumkan bahwa gambaran fisik Maitreya yang dilukiskan dalam kitab Buddhis berbahasa Sanskerta “Lalit vistara” persis sama dengan potret Maitreya yang ada di galeri pertama dari candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi ini dibangun pada tahun 750 M.
MAITREYA DI CEYLON
Pada waktu merosotnya Buddhisme, Ceylon diperintah oleh seorang raja bernama Dhatusen. Dia membangun satu patung besar untuk mengenang Maitreya. Untuk rincian sepenuhnya silahkan melihat “Buddhism Primitive and Present in Magadha Ceylon”, oleh S.R. Compleston A.D.
Musafir Cina Fahian, menulis dalam catatan perjalanannya bahwa dia menemukan patrung Maitreya di banyak tempat di Ceylon, meskipun negeri itu dihuni oleh kaum ateis dan non-religius. Ini mengungkap fakta, bahwa apapun keyakinan orang dalam agamanya, mereka dengan sungguhsungguh menunggu nabi yang dijanjikan itu.
MAITREYA DI TIBET
Seperti negeri-negeri Buddhis lain, Tibet yang bergunung-gunung tidak lepas dari patung Maitreya. Dalam bahasa Tibet atau dalam istilah keagamaan dari bangsa Tibet dalam kata „Champa‟ yang menunjuk kepada kembang kuning yang harum. Dan ini disebutkan dalam kitab sucinya sebagai “Bardo”. Bangsa Tibet sangat berharap akan kedatangannya seperti umat dari negeri Buddhis lainnya . Karena itu atas perintah Dalai Lama, sebuah patung yang luar-biasa besar setinggi sekitar 80 kaki dibangun di Tibet mewakili Maitreya. Ini dilapis emas, sehingga semoga Maitreya bisa menerimanya dan segera datang ke dunia .
Dalam “Cyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid I, halaman 98-99, ditemui di sana, bahwa: “Amita-bha, berarti cahaya yang tak ternilai. Di antara Buddha yang tak terhitung ada satu, yakni Amita-bha, Buddha dari terbenamnya matahari, dewa dari cahaya yang tak terbatas, yang bersyukur atas janji lamanya, dia telah memenangkan bagi dirinya kebahagian dalam mengendalikan alam semesta, di mana tiada lagi tujuan yang jahat. Orang-orang dari negeri itu, sama dengan dewata kita. Tiada yang lain kecuali Boddhisatva dan hanya sedikit Arhat; dunia itu benar-benar tanah yang bahagia (suatu Sukhavati), atau seperti yang dikatakan Vishnupurana suatu Sukha. Meskipun Maitreya mempunyai suatu surga di tanah di mana Amita-bha memanggil orang-orang pilihannya, dan kepada siapa dia memberi mereka pertolongan dari dua Bodthisatva yang Besar. Amita-bha pada suatu saat nyaris berbeda dari Sakyamuni yang abadi (teratai dari hukum yang benar); datang dan dianggap sebagai Buddha yang setengah-abadi, yang berinkarnasi di bawah munculnya bayangan Sakyamuni yang manusiawi”.
MAITREYA DI ASIA TENGAH
Di samping India dan negeri yang disebut di atas, patung-patung Maitreya juga didapati sampai sejauh Asia Tengah. Sebagai fakta nyata, nubuatan atas kedatangan Dia yang Dijanjikan itu diukir di negeri yang kelak menjadi lapangan penyiaran Islam. Sir Charles Eliot menulis: “Suatu kuil Maitreya telah diketemukan di Turfan, Asia Tengah, dengan suatu inskripsi Cina yang menyatakan dia sebagai dewa yang aktif dan dermawan, yang menampakkan dirinya dalam banyak sifat mulia”. Inilah Muhammad.
DAFTAR PUSTAKA
“Encyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid I, hal 414).
“Encyclopaedia of Religion and Ethics” jilid 2, halaman 885).
“Encyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid 8 halaman 143).
“Encyclopaedia Britannica” art. “Maitreya”).
“Crolier Encyclopaedia”, jilid 7).
“Chinese Buddhism”, oleh Edkins, halaman 240).
“Tibetan Book of the Dead”, oleh Evens Wentz, halaman 101)
“Manual of Buddhism”, oleh S.R.Hardy).
(Ibid. jilid 2 hal.258).
Sinar Darma 22. Ebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar